Pagi itu setelah berkat Misa, dia hanya terdiam menatap Salib, teringat petualangan beberapa minggu yang lalu. “Terimakasih Tuhan, aku masih hidup”. Mengingat medannya yang begitu dasyat!  Petualangan kemarin begitu luar biasa (Sangar!). Ada tawa, ada yang menangis… xixixii… ada juga yang menyesali ikut pendakian, dan yang paling indah dari petualangan ini, Ada persahabatan. :D

Yaa… begitulah kehidupan! 

Saat kita harus menapaki jalan yang panjang yang sepertinya tiada ujung. Kita mengeluh dan menyesalinya. Apalagi melewati jalan yang panas, berdebu dan hanya dengan sedikit bekal air untuk perjalanan. Seakan-akan penderitaan ini tidak ada ujungnya. Saat melewati padang  rumput kuning yang panjang. Ada yang berbisik “Sebenarnya apa yang kita cari?” ehmm... kadang pertanyaan itu selalu muncul mana kala kita merasa lelah saat berjuang. “iyaa.. sebenarnya apa yang kita cari di sini?” dalam hati dia bergumam. 

Setapak demi setapak dia melanjutkan penjalanan yang semakin lama semakin menanjak. Rasa lelah menyertai, sesekali dia beristirahat memeluk pohon sambil melihat kebawa, melihat perjalanan yang telah dilaluinya “Tuhan, terimakasih jalan itu sudah terlalui”. Dia kembali melanjutkan perjalanan sambil sesekali melihat kebawa, melihat sahabat-sahabatnya yang masih di belakang, kadang sesekali dia melihat keatas, namun semakin sering melihat keatas rasa lelah itu semakin bertambah.  Ada yang berkata dalam hatinya “jangan melihat ke atas, sayang! jalani saja selangkah demi selangkah. Keep fight! Jangan melihat keatas, jangan melihat kebawa! (Berjuanglah saat ini, jangan larut dalam masa lalu dan jangan mengkuatirkan masa depan).


Setapak demi setapak dia mengikuti kata hatinya, tak terasa hari sudah larut malam, beberapa sahabat masih berjuang di belakang, jumlah mereka lumayan banyak yang tertinggal, tetapi pos 3 yang ditujuh masih beberapa kilo lagi. Melihat kondisi seperti itu “si gembala wedus” memutuskan mendirikan tenda di pos 3 bayangan, meski beberapa sahabat ada yang di depan (kemungkinan mereka sudah sampai di pos 3). Entah keputusan itu tepat atau tidak, saat itu memang sudah sangat gelap dan mereka sudah kelelahan, mereka tidak mungkin lagi melanjutkan perjalanan ke pos 3 melihat kondisi alam yang semakin gelap sedangkan masih banyak kawan-kawan yang tertinggal. Malam pun semakin larut, udara semakin dingin. Kekuatiran mulai muncul, keadaan mulai sedikit kacau.  Ada yang tertinggal, ada yang terdepan. “Relax dulu ahhh..” Sambil memandang bintang  tiba-tiba seorang  kawan memanggil namaku sambil menawarkan teh. “terima kasih, kawan! kepedulianmu menghangatkan  dingin malam ini". Walaupun kakimu sudah mulai terasa sakit, namun kamu masih peduli dengan yang lain. “Jesus Love You, dahhh…” xixixi.. bisiknya dalam hati.


Hari kedua, dia bergegas menuju pelawangan sembalun. Entah mengapa dia merasa perjalanan hari ini tak terasa berat. Mungkin karena cuaca tak sepanas perjalanan kemarin, atau mungkin karena dia berjalan bersama-sama, istirahat pun bersama-sama. “ahh.. entahlah”. Senyum lebar masih mewarnai perjalanan ini. “yaa… mungkin itulah jawabannya”. Ada kekuatan dalam tawa dan kegembiraan. Sebenarnya perjalanan ini sama beratnya dengan hari kemarin, namun kebersamaan, canda-tawalah yang mampu menjadikannya ringan. Seperti yang pernah di ungkapkan salah satu sahabatnya di sini  “Kebaikan hati mengiringi sepanjang perjalanan”


“fhiuuwww… akhirnya sampai juga di pelawangan sembalun”. Sambil menghela nafas dia mengusap keringat di kepala. Menikmati senja sore hari, bersama bule yang sedang menikmati beer seharga Rp. 50.000,-. “Busyettt!! Di gunung ada yg jualan beer sama pulpy orange” hahhaha.. mantaff!!. Setelah puas  memandang senja di atas danau Segara Anak dan G. Agung, dia mulai beranjak mendekati tenda kelompoknya. Tiba tiba dia di hampiri kawannya dengan wajah yang kurang enak di lihat… xixixii… :P

“aku mencoba mengerti apa yang kamu rasakan, kawan. Aku tahu kamu kecewa, kamu merasa ini tidak adil. Tapi sulit bagiku untuk memahami kemarahanmu. Mengapa kamu begitu sangat marah?!”

“ahh… sudahlahh! yang penting malam ini aku bisa melihat bintang dan senyum di wajahmu lagi, kawan.. xixixiixi… :P”




                Hari ke 3 dini hari, bersama kawan - kawannya dia mulai berhitung, tanpa melupakan Berkat dan Penyertaan-Nya sebelum  menyusuri jalur kiri kanan jurang. 
Matanya masih terpejam, tak kuasa menahan rasa “kantuk”. 3x salam maria mengiringi langkahnya. Mereka berjalan beriringan menuju jalur puncak. Sesekali seorang sahabat berteriak “depan berhenti!”. Teriakan itu pertanda iring-iringan mulai terputus. “OK. Lanjut”. Perjalanan menuju puncak siap diteruskan. Satu persatu rombongan mereka memenuhi puncak Rinjani. Sambutan hangat, ucapan selamat menambah kegembiraan para sahabat saat itu, walaupun Sang Mentari terburu-buru bersinar sebelum rombongan mereka berada di puncak. 


Betapa Agung Karya-Mu. “Inikah yang kita cari?”. Hehehee… Dia juga belum menemukan jawabanya. Yang dia temukan hanyalah “Rasa syukur yang begitu dalam atas semuanya, atas perjalanan ini, rintangan ini, kesabaran ini, ketabahan ini, kepasrahan ini, kebersamaan ini, keindahan ini, kesempatan ini, dan Keagungan-Mu ini”.  



Disinilah puncaknya! “Syukur kepada-Mu, kami bisa merasakan ini semua, tanpa Penyertaan-Mu dan kekuatan-Mu kami tak kan sanggup melewati ini semua”. Dalam perjalanan itu ada makna yang dia temukan “setiap peristiwa kesusahan dalam hidup pasti ada ujungnya, dan kepuasan itu sifatnya sementara”.




Terima kasih Rinjani

engkau mengajarkan ini semua..

Yang kuat membantu yang lemah.








Puncak mulai dingin, sudah saatnya bergegas turun, setelah mengabadikan moment, satu persatu mereka turun menuju pelawangan sembalun dan bergegas ke Segara Anak. “Busyeettt!! Sangar cakkk…!” dia mengumpat keras-keras melihat medan turun ke danau yang berbatuan yang curam. Sesekali dia turun seperti Spideman, merayap sambil memegang batu untuk pijakan dan pegangan. “Wow! Cool.. Welcome to the rock..”. Dia berusaha menyemangati dirinya sendiri. Udara mulai dingin dan malampun perlahan-lahan mendekat. “Arrrggggghhhh!!@@!!!!” dia mengikuti rombongan yang salah jalur. Dia tidak marah atau menyalahkan siapa yang berada di depan rombongan saat itu, dia hanya kecewa “kenapa yang lebih tau” tidak mengingatkan. Bagi dia perjalanan saat itu mulai berat, menyusuri tanjakan dengan senter dengan rasa jengkel pula (Mungkin itu yang membuat jadi terasa berat). Ada pergulatan saat itu, dia teringat sesuatu. Jangan – jangan mereka tersesat akibat ulahnya mengambil batu dari puncak Rinjani (Kalau memang begitu adanya "maafin ane yaa.. kawan -kawan"... xixixii... :). “Tuhan, bantu kami melewati ini semua, maafkan aku telah mengambil batu – batu itu” doanya dalam hati.  3x Salam Maria dan Lagu Tuhan Yesus bimbinglah kami mengiringi perjalanannya menuju Danau Segara Anak. Jujur! saat itu dia mengalami ketakutan dan penyesalan.


                   
             Akhirnya! Sampai juga.. “Sekali lagi Terimakasih Tuhan”







Rencananya siang itu akan ada Misa setelah semua rombongan menikmati pemandian air hangat, apalah daya tuan-tuan putri lupa daratan… xixxiixi.. kelamaan mandi Misa’nya di tunda dah ;D . Dengan sedikit kecewa dia bisa menerima (dengan harapan mungkin akan ada Misa di pos 3 Senaru). Siang ini semua bergegas meninggalkan Danau. Ada beberapa kawan yang ingin singgah lebih lama menikmati keindahan danau Segara Anak dan terpisah dengan rombongan. “Sedikit kecewa siy, tapi.. yaa… itulah pilihan mereka”. Perjalanan Turun semakin menyenangkan, canda tawa mengiringi perjalanan menuju Pelawangan Senaru. Dari pinggang senaru mereka berhenti sembari menghangatkan diri minum secangkir teh hangat, dan menikmati nanas hasil jarahan. “hahahahaa... terimakasih kawan, saat itu benar-benar indah”. Dan ditemani pesona senja sore hari, menjadikan suasanan sore itu sangat terasa indah. “Keindahan ini semoga tidak cepat berakhir” gumamnya dalam hati. Udara dingin mengusir mereka untuk segera bergegas ke Pos 3 Senaru walau kaki enggan beranjak. 

Perlahan-lahan gelap semakin pekat, senter-senter mulai berpijar, mereka berjalan merapat dan perlahan-lahan. Malam semakin larut, dingin dan ngantuk. Dia mulai resa, lelah dan putus asa (mungkin beberapa kawannya juga merasakan hal yang sama). “Kapan sampai pos 3, ya?” gumamnya dalam hati. Perjalanan ini panjang sekali, rasa jengkel mulai merasuki. Dia mulai kehilangan semangat. Saat itu ada yang bernyanyi lantang, sepenggal  kalimat ini yang masih dia ingat Don’t Worry ‘bout a Thing, ‘cause Every Little Thing… Gonna be All Right! seketika itu dia bersemangat kembali. “terimakasih kawan, tanpa kamu sadari saat itu kamu telah meringankan perjalanan ini”

Perjalanan segera berakhir pagi ini, semua berkemas, tenda-tenda di gulung. Sebelum berangkat menuju Senaru beberapa orang kawan memasak air untuk bekal perjalanan. “Terima kasih kawan, t’lah memikirkan yang lain”




Canda tawa mengiringi perjalanan turun. Perjalanan turun Senaru jauh lebih menyenangkan, dibandikan perjalanan turun menuju Pelawangan Senaru. Senyum lebar mewarnai perjalananya, ketika seorang kawan mengingatkan “minum air, biar segar”.  Baginya perhatian kecil itu tak kan’terlupakan. “Terimakasih kawan, perhatianmu menyegarkan perjalanan ini.



Sekali lagi, Terimakasih kawan!
Terimakasih Rinjani!
Petualangan ini mengajarkan banyak hal (daya juang, kesabaran, ketabahan, kepasrahan, kebersamaan, kepedulian, kesetia-kawanan, ke’egoisan dan rasa syukur)




Mungkin, inilah yang kita cari. Belajar menjadi manusia yang tidak mementingkan diri sendiri. Belajar menyeimbangkan kemampuan dan keinginan diri.







Salam satu bumi, satu hati
Rinjani pertama kali 
(29 Agustus - 2 September 2011)


                                                                                






Thank to all photografer (Bowo, David, & Paul)



               



1 komentar:

oiasatria mengatakan...

“Don’t Worry ‘bout a Thing, ‘cause Every Little Thing… Gonna be All Right!” ... Woyoooo
Lagu mantab... Nice story kakak !!